KONSUMERISME GADGET DI KALANGAN KAULA MUDA

Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan.
Gadget adalah suatu  barang yang tak dapat dijauhkan atau bahkan dihilangkan bagi kehidupan manusia,gadget tidak lepas dari berbagai aktiftas para manusia ,begitu pula bagi para kaula muda yang begitu banyak menggunakan gadget.
Gadget sangat erat dengan kegiatan manusia tapi bagaimana bila penggunaan konsumen yang berlebihan? Banyak dari kita orang-orang yang membeli gadget hanya sekedar hobi saja atau hanya sekedar koleksi barang baru,karena sedang trend mode baru lantas orang-orang membeli dan menggunakan gadget tak semestinya. Banyak kaula muda yang sering belanja berganti-ganti merk gadget hanya sebagai hobi bukan kebutuhan .
a. Masyarakat konsumerisme
Dalam ranah masyarakat konsumer hasrat direproduksi lewat ide-ide yang terbentuk lewat proses sosial. Baudrillard misalnya melihat bahwa struktur nilai yang tercipta secara diskursif menentukan kehadiran hasrat. Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumer ini menurutnya mengejawantah dalam kode-kode. Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek eksternal, produksi menciptakan materi sebagai kode-kode yang menstimulasi kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi.
b. Proses Gaya Hidup
Dalam masyarakat komoditas atau konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup (Feathersone, 2005). Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup.
Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati posisi strategis sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen.
Bagaimana menghindar dari konsumerisme? Mengonsumsi sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar dilakukan. Namun, dewasa ini disadari bahwa masyarakat tidak hanya mengonsumsi, tapi telah terjebak ke dalam budaya konsumerisme. Budaya ini dikatakan berbahaya karena berekses negatif terhadap lingkungan hidup, juga meluruhnya hubungan sosial dan bertahtanya kesadaran palsu di benak masyarakat. Sekarang sudah saatnya menjadi konsumen yang cerdas dan kritis, bukan lagi saatnya menjadi -- dalam istilah Bre Redana -- mindless consumer, konsumen yang tidak berotak, pasif, dan gampang dibodohi. Mulailah mengendalikan diri dan membelanjakan uang hanya untuk barang yang benar-benar kita perlukan, jangan mudah terpengaruh dengan rayuan untuk membeli dan mulai mempertanyakan proses di balik pembuatan barang yang akan kita beli. Sebagai konsumen, kita berhak melakukannya karena kita adalah raja
c. Budaya konsumerisme
Dalam ranah masyarakat konsumer hasrat direproduksi lewat ide-ide yang terbentuk lewat proses sosial. Baudrillard misalnya melihat bahwa struktur nilai yang tercipta secara diskursif menentukan kehadiran hasrat. Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumer ini menurutnya mengejawantah dalam kode-kode. Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek eksternal, produksi menciptakan materi sebagai kode-kode yang menstimulasi kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi. Dalam nalar Freudian hasrat untuk mengonsumsi secara mendasar adalah sesuatu yang bersifat instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan struktur psikis manusia: yaitu id. Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau didasari oleh prinsip kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan. Adalah jelas bahwa tindakan untuk mencapai kepuasan dan kesenangan spontan ini dalam fase id bersifat irasional. Mengkonsumsi pada awalnya terkait dengan tindakan menggapai kepuasan secara irasional, spontan dan temporal – fase id struktur psikis manusia.
Pada dasarnya sifat ini sangat merugikan karena banyak pengeluaran yang dikeluarkan tanpa mempertimbangkan dampak yang ada ,belanja yang berlebihan hanya akan menguras kantong,apalagi bagi para remaja yang belum bekerja yang terbiasa minta uang padaorang tua.            Membelajakan sesuatu barang yang dibutuhkan akan lebih baik ketimbang membelajakan sesuatu hanya karena keinginan semata bukan kebutuhan,sifat itu yang nantinya akan merugikan penggunanya.
            Budaya penggunaan media elektronik dikalangan kaula muda memang sungguh hal yang wajar tapi tidak wajar bila penggunaan gatged yang terlalu sifat konsumerisme yang ada pada diri seorang anak bila tidak dikendalikan dan dibatasi dan pengawasan antara orang tua dan guru hanya akan merusak pribadi anak tersebut .
            Orang tua berperan penting dalam sifat dan perialaku anak ,pengawasan dan pemantauan yang baik akan menghindari anak dari sifat konsumerisme,jadi orang tua harus mencontohkan sifat dan perilaku yang baik agar terhindar dari budaya dan sifat konsumerisme.


Nama                  : Nidaul khasanah
Kampus              : Sekolah Tinggi Agama Islam Brebes (STAIB)
Fakutas/jurusan  : Pendidikan Agama Islam(PAI)

Konsumerisme: Potret Polusi Kebudayaan dan Ekonomi

Tema konsumerisme bukan tema baru. Konsumerisme telah banyak dibicarakan sebelumnya, baik sebagai realitas sosial yang nyata terjadi pada masa pasca perang dunia dua (PD II) tahun 1945 maupun dalam ranah akademis, konsumerisme dijadikan tema perbincangan mengenai paham ideologi baru. Munculnya ekonomi liberal dari negara Barat berperan besar dalam hal ini. Dalam memenuhi tuntutan itu, negara-negara Barat mengeluarkan berbagai macam regulasi terkait perizinan industri bebas aktif. Akhirnya, konsep liberalisme dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Barat menjadi tidak terelakan lagi. Seiring dengan prinsip hidup yang dipegang dan disahkan secara regulatif oleh negara Barat, persaingan dalam dunia ekoniomi semakin meluas, hingga menembus batasan negara.
Negara Barat, khususnya Amerika membebaskan warganya untuk mengembangkan diri dalam batasa-batasan yang lebih luas. Akhirnya, banyak aset-aset besar dinegara tersebut dikuasi oleh perorangan atau suasta. Dalam kepentingan bisnis, banyak industri atau perusahaan besar asal Amerika merupakan lembaga milik pribadi dan berhasil mengembangkan diri hingga ke seluruh penjuru dunia. Intervensi negara yang  tidak berlebihan merupakan kesempatan besar dalam pengelolaan sumber daya secara mandiri. Akhirnya produksi besar-besaran suatu produksi perusahaan menjadi hak pribadi yang tidak bisa dicampurtangani pemerintah. Di sinilah kemudian masyarakat dijejali berbagai produk industri. Produk-produk tersebut bukan hanya berbentuk barang dan jasa komoditas ekonomi. Juga menyentuh banyak aspek kehidupan lainnya. Seperti industri musik, layanan jaringan internet,  hingga kebudayaan.
Lalu apa pengaruhnya pada negara dunia ketiga seperti Indonesia? Dampaknya sangat jelas terasa. Pengaruh kebudayaan Barat dengan segala aspek yang menyertainya, dapat dengan mudah masuk dan diterima oleh masyarakat Indoensia. Tidak heran jika ada istilah polusi kebudayaan menyeruak di tengah hingar-bingar problematika ekonomi yang menghimpit masyarakat. Layaknya limbah yang masuk ke sungai, kebudayaan asing mudah sekali masuk dan disambut dengan antuasias. Limbah tersebut bercampur baur menjadi larutan baru dan berpotensi meracuni biota yang hidup di dalamnya. Jika tidak dilakukan pemurnian, maka identitas kebudayaan Indonesia sebagai biota dalam sungai tercemar akan melebur, mati suri dalam ketercemaran.
Tidak diragukan lagi Indonesia merupakan negara kasatuan yang terdiri dari beragam latar belakang. Budaya salah satunya. Sejak sebelum deklarasi pada tahun 1945, Indonesia sudah tersusun dari keberagaman. Nama Indonesia kemudian dipilih karena merepresentasi keberagaman itu. Indonesia yang banyak diartikan sebagai negara percampuran (negara heterogen) tidak bisa dilepaskan akar sejarahnya yang begitu melekat. Masyarakat Indonesia sudah sangat terbiasa dengan keberagaman. Bukan saja keberagaman yang sejak semula ada, bahkan keberagaman yang datang dari luarpun begitu mudah diterima dan diadopsi sebagai bagian baru masyarakat Indonesia. Sehingga, sudah sangat sulit untuk memilah antara kebudayaan yang masih murni dan yang sduah tercemar.
Model penerimaan seperti ini bukan hanya pada sektor kebudayaan yang bersifat ideologis, dalam bidang ekonomi Indonesia juga termasuk dalam negara yang sangat terbuka dengan globalisasi ekonomi. Terlepas dari longgarnya regulasi pemerintah, nyatanya masyarakat Indonesia sangat gemar dalam mengonsumsi produk-produk branded produk luar negeri. Mulai dari makanan, gadget, hingga kebutuhan pokok yang sebetulnya secara teoritis sangat bisa dipenuhi oleh sumber daya alam Indonesia. Keadaan ini, seperti menjadi kelumrahan yang tanpa sadar dianggap sebagai bukan masalah. Padahal menurut para pengamat ekonomi, konsumi barang-barang hasil import dari luar negeri merupakan ancaman besar.
Efek domino yang akan timbul akan mengancam pertama, masyarakat akan terbiasa dibuai dengan melimpahnya barang-barang kebutuhan dari luar negeri. Hal ini merupakan kampanye besar-besaran yang membuat produk-produk luar negeri makin digemari. Imbasnya adalah lemahnya daya saing produk-produk lokal baik di kancah internasional maupun di kandang sendiri. Jika demikian terjadi, akan banyak industri dalam negeri semakin sulit berkembang hingga gulung tikar. Skala produksi yang terbatas karena kalah pamor dengan produk luar juga akan memutus banyak rantai pekerjaan. Mulai dari pegawai idustri, hingga pegawai lapangan tak resmi yang terlibat dalam pemasaran dan pemanfaatn produk.  Kurangnya lapangan pekerjaan sampai dengan sekarang ini dituding sebagai alasan terkuat banyaknya tenaga kerja Indonesia yang mengadu nasib di negeri orang.
Selain kerugian ekonomi, ancaman kedua yang akan terjadi dan sulit dihindarkan adalah semangat dan kecintaan terhadap produksi dalam negeri akan menurun. Pada era orde baru, Indonesia menjadi negara olok-olok. Selain sumber daya dan bentang alam yang estetis, tidak ada hal lain yang bisa diekspos untuk kebanggaan Indonesia. Pada masa sulit itu, jangankan negara lain, orang Indonesia sendiri kurang percaya diri terhadap negaranya. Jika dilihat dari sisi ini, dengan daya saing produk yang masih rendah, sudah saatnya semua stake holder berkepentingan mendorong agar sektor industri dapat mengahasilkan produk-produk yang sejajar dengan produk dari negara lain. Ini bukan peran pemerintah saja, masyarakat sebagai konsumen juga merupakan faktor penentu. Sudah saatnya pemenuhan kebutuhan hidup bukan lagi didasarkan pada brand, bukan juga karena gengsi, lebih jauh harus sesuai dengan kebutuhan hidup dalam arti sebenarnya.


Suwandi
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Fak. UAD/FA

Gaya Hidup “Kekinian” dalam Cengkeraman Kapitalisme

Manusia merupakan sebuah entitas unik yang diciptakan oleh Tuhan. Sebagai makhluk yang diciptakan paling sempurna oleh Tuhan, kehidupan manusia berkembang dari masa ke masa. Interaksi antar manusia di dunia menimbulkan berbagai hal yang kompleks dan  menjadi hal yang menarik untuk diamati. Adam Smith menyebut manusia sebagai homo economicus atau manusia adalah makhluk ekonomi. Sebagai makhluk ekonomi, manusia memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi demi kelangsungan hidupnya. Manusia memiliki kebutuhan yang sangat beragam dan tidak pernah merasa puas. Namun demikian, alat pemuas kebutuhan memiliki jumlah yang terbatas. Untuk itulah, manusia akan selalu mencari alat pemuas kebutuhannya sehingga eksistensi manusia tidak dapat lepas dari kegiatan ekonomi..
Pada prakteknya, pemenuhan kebutuhkan seringkali bukan karena alasan memang yang bersangkutan benar-benar membutuhkannya, melainkan karena keinginan atau hasrat belaka atas suatu barang atau jasa. Seiring dengan perkembangan ekonomi yang mengikuti perkembangan zaman, semakin banyak produk-produk barang dan jasa yang ditawarkan oleh para pelaku bisnis kepada masyarakat sebagai target pasar. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa produk-produk yang ditawarkan tadi sebagian ada yang cukup membantu manusia dan membuat hidup manusia menjadi lebih mudah dengan kemajuan teknologinya. Namun, tidak disadari atau tidak produk-produk di era modern ini telah menjajah kehidupan manusia. Produk-produk itu begitu massif dan intensif ditawarkan, baik di media cetak, elektronik, maupun sarana yang lain. Alhasil, tidak sedikit orang terbuai dengan penawaran produk-produk itu sehingga akan selalu berusaha untuk memiliki atau menikmati produk-produk tadi. Di sisi lain, pelaku bisnis akan selalu mencari strategi untuk mempertahankan pasarnya dengan terus melakukan pembaruan ataupun inovasi produknya.
Dengan mengingat bahwa manusia sebagai homo economicus tidak akan pernah puas dalam memenuhi kebutuhannya, maka ketika hal tersebut dihadapkan pada pelaku bisnis yang terus melakukan pembaruan produk, hasilnya adalah dalam memenuhi kebutuhannya orang-orang akan terus tergiring untuk mengikuti apa yang ditawarkan pasar atau pelaku bisnis. Dalam hal ini alasan pemenuhan kebutuhan bukan lagi butuh atau tidak butuh, tetapi ingin atau tidak ingin. Inilah yang kemudian disebut sebagai gaya hidup “kekinian”, di mana orang akan selalu meng-update apa yang dimiliki dan dinikmatinya sesuai dengan apa yang ditawarkan pasar dan diinginkan. Contoh menonjol adalah pasar gadget di Indonesia. Di era ponsel pintar atau smartphone ini, banyak produsen-produsen smartphone berlomba-lomba untuk menarik minat konsumen dengan menawarkan berbagai fitur terbaru yang canggih. Setiap waktu produsen-produsen smartphone bergantian unjuk gigi menawarkan produknya dengan teknologi yang selalu diperbarui. Di sisi lain, orang-orang juga berlomba-lomba untuk memiliki smartphone terbaru. Mereka khawatir dianggap tidak “kekinian”. Oleh sebab itu, Indonesia menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi pelaku bisnis ini. Sebagai informasi, di tahun 2015, Indonesia menjadi 3 besar pertumbuhan pasar smartphone di dunia.[i] Tidak heran ada 9 merek smartphone yang telah dan akan mendirikan pabrik di Indonesia,di antaranya Polytron, Evercoss, Advan, Mito, Himax, Oppo, Samsung, Haier dan ZTE.[ii] Pendirian pabrik tersebut untuk semakin menancapkan pasar produk mereka di Indonesia karena mereka sadar bahwa Indonesia adalah pasar yang sangat potensial. Contoh produk lain yang menjadi penunjang gaya hidup “kekinian” adalah mobil, motor dan fashion dalam berbusana. Jika kita melihatnya, sebagian besar pemain dalam bisnis tersebut adalah perusahaan-perusahaan besar yang merupakan perusahaan asing atau multinasional (Multi National Corporation).
Dengan demikian, secara sadar jika kita merenunginya lebih dalam, gaya hidup “kekinian” merupakan suatu instrumen yang dimanfaatkan oleh perusahaan tadi dalam mengepakan sayap kapitalismenya untuk mengeruk laba sebesar-besarnya. Dari sudut pandang demikian, istilah “kapitalisme” seakan-akan merujuk pada sebuah karakteristik umum dan sederhana dari sebuah organisasi ekonomi, sesuatu yang akan kita kenali jika kita melihatnya walaupun tidak ada definisi yang baku untuk itu. Gaya hidup “kekinian” secara tidak langsung sejalan dengan misi kapitalisme dalam melakukan eksploitasi melalui perusahaan-perusahaan besar sebagai corongnya. Banyak pengkritik menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan ini, yang hanya dapat dijawab oleh mereka sendiri sedang mengintegrasikan masyarakat-masyarakat di seluruh dunia menjadi suatu lautan massa tanpa bentuk di mana individu-individu  kehilangan kendali atas kehidupan mereka sendiri dan tunduk terhadap kegiatan eksploitasi perusahaan-perusahaan ini.[iii]


[i]http://techno.okezone.com/read/2014/09/29/57/1045856/2015-indonesia-3-besar-pertumbuhan-smartphone-di-dunia, diakses pada tanggal 8 Januari 2015.

[ii]https://id.techinasia.com/daftar-pabrik-merek-smartphone-di-indonesia/ diakses pada tanggal 8 Januari 2015.

[iii] Robert Gilpin dan Jean Millis Gilpin, Tantangan Kapitalisme Global Ekonomi Abad ke-21,(Jakarta, Raja Grafindo,2002), hlm. 181.

  


Nama                           : M. Akbar Syahidin
Kampus                       : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jurusan/Fakultas          : Ilmu Hukum/ Syariah dan Hukum


















Label 3

Label 2

BERITA DAN ARTIKEL PESERTA

Tim MBA_Line
Tim MBA_Line

Label 4