Tema konsumerisme bukan tema baru. Konsumerisme telah banyak
dibicarakan sebelumnya, baik sebagai realitas sosial yang nyata terjadi pada
masa pasca perang dunia dua (PD II) tahun 1945 maupun dalam ranah akademis,
konsumerisme dijadikan tema perbincangan mengenai paham ideologi baru. Munculnya
ekonomi liberal dari negara Barat berperan besar dalam hal ini. Dalam memenuhi
tuntutan itu, negara-negara Barat mengeluarkan berbagai macam regulasi terkait
perizinan industri bebas aktif. Akhirnya, konsep liberalisme dalam berbagai
sendi kehidupan masyarakat Barat menjadi tidak terelakan lagi. Seiring dengan
prinsip hidup yang dipegang dan disahkan secara regulatif oleh negara Barat,
persaingan dalam dunia ekoniomi semakin meluas, hingga menembus batasan negara.
Negara Barat, khususnya Amerika membebaskan warganya untuk
mengembangkan diri dalam batasa-batasan yang lebih luas. Akhirnya, banyak
aset-aset besar dinegara tersebut dikuasi oleh perorangan atau suasta. Dalam kepentingan
bisnis, banyak industri atau perusahaan besar asal Amerika merupakan lembaga
milik pribadi dan berhasil mengembangkan diri hingga ke seluruh penjuru dunia.
Intervensi negara yang tidak berlebihan
merupakan kesempatan besar dalam pengelolaan sumber daya secara mandiri.
Akhirnya produksi besar-besaran suatu produksi perusahaan menjadi hak pribadi
yang tidak bisa dicampurtangani pemerintah. Di sinilah kemudian masyarakat
dijejali berbagai produk industri. Produk-produk tersebut bukan hanya berbentuk
barang dan jasa komoditas ekonomi. Juga menyentuh banyak aspek kehidupan
lainnya. Seperti industri musik, layanan jaringan internet, hingga kebudayaan.
Lalu apa pengaruhnya pada negara dunia ketiga seperti Indonesia?
Dampaknya sangat jelas terasa. Pengaruh kebudayaan Barat dengan segala aspek
yang menyertainya, dapat dengan mudah masuk dan diterima oleh masyarakat Indoensia.
Tidak heran jika ada istilah polusi kebudayaan menyeruak di tengah hingar-bingar
problematika ekonomi yang menghimpit masyarakat. Layaknya limbah yang masuk ke
sungai, kebudayaan asing mudah sekali masuk dan disambut dengan antuasias.
Limbah tersebut bercampur baur menjadi larutan baru dan berpotensi meracuni
biota yang hidup di dalamnya. Jika tidak dilakukan pemurnian, maka identitas
kebudayaan Indonesia sebagai biota dalam sungai tercemar akan melebur, mati
suri dalam ketercemaran.
Tidak diragukan lagi Indonesia merupakan negara kasatuan yang
terdiri dari beragam latar belakang. Budaya salah satunya. Sejak sebelum
deklarasi pada tahun 1945, Indonesia sudah tersusun dari keberagaman. Nama
Indonesia kemudian dipilih karena merepresentasi keberagaman itu. Indonesia
yang banyak diartikan sebagai negara percampuran (negara heterogen) tidak bisa
dilepaskan akar sejarahnya yang begitu melekat. Masyarakat Indonesia sudah
sangat terbiasa dengan keberagaman. Bukan saja keberagaman yang sejak semula
ada, bahkan keberagaman yang datang dari luarpun begitu mudah diterima dan
diadopsi sebagai bagian baru masyarakat Indonesia. Sehingga, sudah sangat sulit
untuk memilah antara kebudayaan yang masih murni dan yang sduah tercemar.
Model penerimaan seperti ini bukan hanya pada sektor kebudayaan
yang bersifat ideologis, dalam bidang ekonomi Indonesia juga termasuk dalam
negara yang sangat terbuka dengan globalisasi ekonomi. Terlepas dari longgarnya
regulasi pemerintah, nyatanya masyarakat Indonesia sangat gemar dalam
mengonsumsi produk-produk branded produk luar negeri. Mulai dari
makanan, gadget, hingga kebutuhan pokok yang sebetulnya secara teoritis
sangat bisa dipenuhi oleh sumber daya alam Indonesia. Keadaan ini, seperti
menjadi kelumrahan yang tanpa sadar dianggap sebagai bukan masalah. Padahal
menurut para pengamat ekonomi, konsumi barang-barang hasil import dari luar
negeri merupakan ancaman besar.
Efek domino yang akan timbul akan mengancam pertama, masyarakat
akan terbiasa dibuai dengan melimpahnya barang-barang kebutuhan dari luar
negeri. Hal ini merupakan kampanye besar-besaran yang membuat produk-produk luar
negeri makin digemari. Imbasnya adalah lemahnya daya saing produk-produk lokal
baik di kancah internasional maupun di kandang sendiri. Jika demikian terjadi,
akan banyak industri dalam negeri semakin sulit berkembang hingga gulung tikar.
Skala produksi yang terbatas karena kalah pamor dengan produk luar juga akan
memutus banyak rantai pekerjaan. Mulai dari pegawai idustri, hingga pegawai
lapangan tak resmi yang terlibat dalam pemasaran dan pemanfaatn produk. Kurangnya lapangan pekerjaan sampai dengan
sekarang ini dituding sebagai alasan terkuat banyaknya tenaga kerja Indonesia
yang mengadu nasib di negeri orang.
Selain kerugian ekonomi, ancaman kedua yang akan
terjadi dan sulit dihindarkan adalah semangat dan kecintaan terhadap produksi
dalam negeri akan menurun. Pada era orde baru, Indonesia menjadi negara
olok-olok. Selain sumber daya dan bentang alam yang estetis, tidak ada hal lain
yang bisa diekspos untuk kebanggaan Indonesia. Pada masa sulit itu, jangankan
negara lain, orang Indonesia sendiri kurang percaya diri terhadap negaranya.
Jika dilihat dari sisi ini, dengan daya saing produk yang masih rendah, sudah
saatnya semua stake holder berkepentingan mendorong agar sektor industri
dapat mengahasilkan produk-produk yang sejajar dengan produk dari negara lain.
Ini bukan peran pemerintah saja, masyarakat sebagai konsumen juga merupakan
faktor penentu. Sudah saatnya pemenuhan kebutuhan hidup bukan lagi didasarkan
pada brand, bukan juga karena gengsi, lebih jauh harus sesuai dengan
kebutuhan hidup dalam arti sebenarnya.
Suwandi
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Fak. UAD/FA
EmoticonEmoticon