Gaya Hidup “Kekinian” dalam Cengkeraman Kapitalisme

Manusia merupakan sebuah entitas unik yang diciptakan oleh Tuhan. Sebagai makhluk yang diciptakan paling sempurna oleh Tuhan, kehidupan manusia berkembang dari masa ke masa. Interaksi antar manusia di dunia menimbulkan berbagai hal yang kompleks dan  menjadi hal yang menarik untuk diamati. Adam Smith menyebut manusia sebagai homo economicus atau manusia adalah makhluk ekonomi. Sebagai makhluk ekonomi, manusia memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi demi kelangsungan hidupnya. Manusia memiliki kebutuhan yang sangat beragam dan tidak pernah merasa puas. Namun demikian, alat pemuas kebutuhan memiliki jumlah yang terbatas. Untuk itulah, manusia akan selalu mencari alat pemuas kebutuhannya sehingga eksistensi manusia tidak dapat lepas dari kegiatan ekonomi..
Pada prakteknya, pemenuhan kebutuhkan seringkali bukan karena alasan memang yang bersangkutan benar-benar membutuhkannya, melainkan karena keinginan atau hasrat belaka atas suatu barang atau jasa. Seiring dengan perkembangan ekonomi yang mengikuti perkembangan zaman, semakin banyak produk-produk barang dan jasa yang ditawarkan oleh para pelaku bisnis kepada masyarakat sebagai target pasar. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa produk-produk yang ditawarkan tadi sebagian ada yang cukup membantu manusia dan membuat hidup manusia menjadi lebih mudah dengan kemajuan teknologinya. Namun, tidak disadari atau tidak produk-produk di era modern ini telah menjajah kehidupan manusia. Produk-produk itu begitu massif dan intensif ditawarkan, baik di media cetak, elektronik, maupun sarana yang lain. Alhasil, tidak sedikit orang terbuai dengan penawaran produk-produk itu sehingga akan selalu berusaha untuk memiliki atau menikmati produk-produk tadi. Di sisi lain, pelaku bisnis akan selalu mencari strategi untuk mempertahankan pasarnya dengan terus melakukan pembaruan ataupun inovasi produknya.
Dengan mengingat bahwa manusia sebagai homo economicus tidak akan pernah puas dalam memenuhi kebutuhannya, maka ketika hal tersebut dihadapkan pada pelaku bisnis yang terus melakukan pembaruan produk, hasilnya adalah dalam memenuhi kebutuhannya orang-orang akan terus tergiring untuk mengikuti apa yang ditawarkan pasar atau pelaku bisnis. Dalam hal ini alasan pemenuhan kebutuhan bukan lagi butuh atau tidak butuh, tetapi ingin atau tidak ingin. Inilah yang kemudian disebut sebagai gaya hidup “kekinian”, di mana orang akan selalu meng-update apa yang dimiliki dan dinikmatinya sesuai dengan apa yang ditawarkan pasar dan diinginkan. Contoh menonjol adalah pasar gadget di Indonesia. Di era ponsel pintar atau smartphone ini, banyak produsen-produsen smartphone berlomba-lomba untuk menarik minat konsumen dengan menawarkan berbagai fitur terbaru yang canggih. Setiap waktu produsen-produsen smartphone bergantian unjuk gigi menawarkan produknya dengan teknologi yang selalu diperbarui. Di sisi lain, orang-orang juga berlomba-lomba untuk memiliki smartphone terbaru. Mereka khawatir dianggap tidak “kekinian”. Oleh sebab itu, Indonesia menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi pelaku bisnis ini. Sebagai informasi, di tahun 2015, Indonesia menjadi 3 besar pertumbuhan pasar smartphone di dunia.[i] Tidak heran ada 9 merek smartphone yang telah dan akan mendirikan pabrik di Indonesia,di antaranya Polytron, Evercoss, Advan, Mito, Himax, Oppo, Samsung, Haier dan ZTE.[ii] Pendirian pabrik tersebut untuk semakin menancapkan pasar produk mereka di Indonesia karena mereka sadar bahwa Indonesia adalah pasar yang sangat potensial. Contoh produk lain yang menjadi penunjang gaya hidup “kekinian” adalah mobil, motor dan fashion dalam berbusana. Jika kita melihatnya, sebagian besar pemain dalam bisnis tersebut adalah perusahaan-perusahaan besar yang merupakan perusahaan asing atau multinasional (Multi National Corporation).
Dengan demikian, secara sadar jika kita merenunginya lebih dalam, gaya hidup “kekinian” merupakan suatu instrumen yang dimanfaatkan oleh perusahaan tadi dalam mengepakan sayap kapitalismenya untuk mengeruk laba sebesar-besarnya. Dari sudut pandang demikian, istilah “kapitalisme” seakan-akan merujuk pada sebuah karakteristik umum dan sederhana dari sebuah organisasi ekonomi, sesuatu yang akan kita kenali jika kita melihatnya walaupun tidak ada definisi yang baku untuk itu. Gaya hidup “kekinian” secara tidak langsung sejalan dengan misi kapitalisme dalam melakukan eksploitasi melalui perusahaan-perusahaan besar sebagai corongnya. Banyak pengkritik menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan ini, yang hanya dapat dijawab oleh mereka sendiri sedang mengintegrasikan masyarakat-masyarakat di seluruh dunia menjadi suatu lautan massa tanpa bentuk di mana individu-individu  kehilangan kendali atas kehidupan mereka sendiri dan tunduk terhadap kegiatan eksploitasi perusahaan-perusahaan ini.[iii]


[i]http://techno.okezone.com/read/2014/09/29/57/1045856/2015-indonesia-3-besar-pertumbuhan-smartphone-di-dunia, diakses pada tanggal 8 Januari 2015.

[ii]https://id.techinasia.com/daftar-pabrik-merek-smartphone-di-indonesia/ diakses pada tanggal 8 Januari 2015.

[iii] Robert Gilpin dan Jean Millis Gilpin, Tantangan Kapitalisme Global Ekonomi Abad ke-21,(Jakarta, Raja Grafindo,2002), hlm. 181.

  


Nama                           : M. Akbar Syahidin
Kampus                       : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jurusan/Fakultas          : Ilmu Hukum/ Syariah dan Hukum


















First


EmoticonEmoticon